Malam Pertama Calon Pendeta

Gde Aryantha Soethama

Karena pendirian Ni Krining yang kukuh dan tulus terus-menerus, Aji Punarbawa perlahan-lahan melunak juga. Ia menerima, kendati tak rela, dan bingung, bagaimana mungkin seorang istri setia mendesak suami kawin lagi? Jangan-jangan ini siasat, agar perempuan itu bisa melepaskan diri. Sudah berulang kali Aji menolak, sekian kali pula Krining mendesak.

“Engkau yang memutuskan, Ning. Jika engkau menolak, tetap tak akan ada pendeta di keluarga besar ini.”

”Berulang saya sampaikan, saya menerima. Bukankah saya mendesak terus agar Aji segera madiksa jadi pendeta?”

”Aku mengerti, tapi, itu berarti aku harus….”

”Harus kawin lagi, dan perempuan itu mesti seorang brahmana. Keluarga segera memilihkan untuk Aji.”

Semula Krining bimbang, sampai kemudian ia berada di simpang jalan, antara mempertahankan keutuhan rumah tangga dan mengembalikan martabat keluarga besar suami.

”Ini bukan semata masalah suami-istri. Ini urusan keluarga besar, dan mereka mengharap pengorbanan saya. Apa salah kalau saya bersedia?”

Tidak semua orang menganggap tindakan Krining sebagai pengorbanan. Banyak yang menilai sebagai keharusan dan kepatutan, karena ia bukan perempuan brahmana. Memang, keluarga Aji Punarbawa tidak menolak pernikahan mereka, tapi tidak berarti mereka sepenuhnya merestui. Bahkan tidak sedikit yang menyayangkan, mengapa Aji tidak memilih perempuan brahmana saja, agar keturunan mereka berhak jadi pendeta.

”Tidak apa-apa, kalau memang sudah jodohmu,” ujar ibu Punarbawa dengan suara datar, terasa ia menerima dengan terpaksa.

”Bersyukurlah kamu, karena bisa memilih calon istri dengan bebas, tanpa direcoki keluarga besar,” komentar ayahandanya. ”Ini awal baik membangun rumah tangga bahagia. Istri akan patuh, anak-anak bakal menghormati ayahnya. Kamu akan jadi kepala keluarga bermartabat.”

Martabat itu memang berhasil menjadi mahkota keluarga Krining dan Aji, tapi tidak bagi keluarga besar brahmana di Gria Rangkan. Mereka merasa sudah sangat lama kehilangan martabat, karena tak seorang pun berminat meneruskan tradisi kependetaan. Pegangan hidup kependetaan terbenam dalam puluhan lontar berdebu di gria itu, teronggok usang di sebuah almari kayu jati tinggi besar. Tak seorang pewaris pun tertarik mempelajarinya. Tiga generasi Gria Rangkan lebih memilih jadi pegawai negeri, dosen, guru, dokter. Yang lain jadi pengusaha, politikus. Selebihnya karyawan hotel, penari dan sopir taksi. Mereka tak peduli pada tinggi gelar kebangsawanan untuk mengambil pekerjaan rendah sekalipun. Bagi mereka ilmu kependetaan terlalu kalem dan teduh, tak ada riaknya. Untuk apa menghukum diri dan mengekang indra dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran usang tentang adat dan agama?

Tapi, ketika orang-orang brahmana itu beranjak tua, mereka mulai sadar harus ada yang meneruskan riwayat kependetaan di Gria Rangkan. Bertahun-tahun kesadaran itu mengendap dan mengental, tetap tak seorang pun bersedia dikukuhkan sebagai pendeta. Mereka justru ingin menikmati ketenangan dan kebebasan ketika uzur, tidak mengisinya dengan kelelahan menjadi pelayan umat. Harapan pun ditumpahkan pada Aji Punarbawa, seorang guru agama sekolah menengah.

”Kamu yang paling cocok menjadi pendeta, bukankah sebagai guru agama kamu paham banyak tentang filsafat, etika dan upacara?” rajuk para tetua.

Aji tak berminat, ia punya alasan untuk itu. ”Apakah tidak keliru menunjuk saya? Istri saya bukan wanita brahmana. Saya tak berhak jadi pendeta.”

”Ah, gampang mengaturnya, itu masalah kecil. Yang penting kamu bersedia!”

”Saya tak sudi jadi pendeta karena akal-akalan. Itu melanggar hukum kaum brahmana, kutukan taruhannya,” serang Aji.

Para tetua itu terkekeh-kekeh. ”Tak ada yang dilanggar. Kita menempatkan perempuan sederajat laki-laki. Jika seseorang madiksa sebagai pendeta, istrinya akan jadi pendeta pula.”

”Tapi, istri saya bukan seorang brahmana.”

”Tidak ada larangan kamu beristri lagi dengan perempuan brahmana.”

Aji segera menemui Krining, memeluknya, karena ternyata ia sudah mendengar semua rencana itu, tapi ia pendam sampai Aji menyampaikan langsung.

”Ini rencana gila dan dungu, Ning! Kenapa kita mesti menerima?”

”Karena jika Aji bersedia, semua orang akan lega dan bahagia.”

Aji Punarbawa terbelalak. ”Engkau bahagia jika aku kawin lagi?”

Krining mengangguk. ”Ya, jika itu demi syarat Aji jadi pendeta.”

Aji mendatangi semua tetua di Gria Rangkan, menyampaikan ia menolak jadi pendeta. Ia tak mau kawin lagi, tak sudi menyakiti istrinya.

”Kalau begitu, kita dengar pendapat Krining. Dia yang memutuskan nasib dan kehormatan gria ini,” jelas para tetua.

Dalam pertemuan yang dihadiri semua brahmana sudah berkeluarga, Krining menyampaikan keikhlasan jika suaminya kawin lagi. ”Ini kehormatan dan kesempatan bagi hamba untuk menunjukkan keluhuran budi,” jelasnya.

”Engkau perempuan ajaib yang pernah kukenal, Ning,” ujar Aji malam terakhir ia punya seorang istri. Besok pernikahan akan dilangsungkan, selepas tengah hari. Empat puluh dua hari kemudian pasangan itu akan dikukuhkan sebagai pendeta.

Aji Punarbawa menatap Krining yang duduk di tepi ranjang dengan seprai baru dicuci. Aroma segar dan harum menebar ke seluruh ruangan. Temaram lampu di sudut membuat tubuh Krining tampak lebih jenjang, seperti bayang-bayang senja. Aji duduk di samping meja jati dengan kedua telapak tangan di atas lutut.

”Pasti engkau punya alasan melakukan semua ini. Katakan dengan jujur, Ning.”

”Dulu Gria Rangkan tempat pendeta-pendeta bijak dan sakti, Aji. Tapi, sudah tujuh puluh tahun tak ada lagi pendeta di sini. Sudah saatnya…”

”Itu bukan alasanmu, Ning. Itu ocehan semua brahmana tua di gria ini. Mereka cuma mau menikmati, tak sudi dibebani, ingin tampil sebagai pahlawan tanpa harus bertindak dan berkorban. Aku ingin mendengar alasan dari hatimu, yang jujur dan sejati, karena engkaulah yang berkorban.”

Krining menatap mata Aji dalam temaram sinar. Ia sangat mencintai laki-laki yang lima belas tahun bersamanya, dan memberi dua anak itu. Ia dirasuki bayangan masa muda, tatkala bersua seorang brahmana yang sudi memilih perempuan biasa sebagai istri. Perlahan-lahan matanya hangat, terkenang bagaimana dulu ia meminta agar Aji meninggalkan saja dirinya, sehingga ia bebas memilih perempuan lain dari kaum brahmana pula. Jika kemudian mereka akhirnya menikah, tentu ia benar-benar perempuan pilihan, yang ditakdirkan hidup dalam hiruk-pikuk orang-orang brahmana modern.

”Katakan Ning, apa pun tak akan mengubah keputusan. Kalian sudah keluar sebagai pemenang. Aku cuma ingin mendengar kata hatimu.”

”Saya hanya ingin lontar-lontar itu ada yang membaca dan melakoni.”

Aji tertawa. ”Jangan bercanda, Ning. Aku bersungguh-sungguh. Engkau menyimpan sesuatu yang harus dijelaskan.”

Krining meremas tepi ranjang dengan kedua tangan, dan tetap menatap Aji. Mereka beradu pandang seperti saling menerka isi hati.

”Selain Aji, tak ada yang menggubris keberadaan saya di gria ini,” ujar Krining berusaha tenang. ”Sekarang saya punya kesempatan untuk dihargai. Sungguh luar biasa, ketika para brahmana meminta pendapat saya, membujuk dan memelas agar saya sedia berkorban. Mereka akhirnya harus mengakui, yang mengembalikan wibawa kependetaan dan kesucian Gria Rangkan adalah seorang perempuan biasa.”

Aji Punarbawa melangkah mendekati Krining, mengangkat betis dan merengkuh lututnya, kemudian merebahkannya pelan-pelan di ranjang.

”Tidakkah semua itu berarti engkau lebih menghargai orang lain dibanding diri sendiri?”

Krining tak menjawab, ia tersedu dalam pelukan laki-laki yang mutlak menjadi miliknya hanya saat itu. Aji memberi kehangatan seperti hanya malam itu yang tersisa. Krining menikmatinya dengan raga dan jiwa membuncah, seolah tak ada lagi malam-malam lain bersama suaminya kelak. Mereka menikmati sepenuh malam itu hingga waktu memisahkan, karena pagi tiba, dan Aji harus bersiap melangsungkan upacara perkawinan.

Aji memberi kecupan di kedua mata dan dahi ketika melepas istrinya. Krining melipat seprai yang terpilin-pilin, masih terasa hangat, dan lembab di bagian tengah. Nanti malam ranjang itu akan berselimut seprai baru, untuk Aji bersama perempuan lain. Krining beranjak lima puluh langkah ke barat, ke sebuah kamar di bawah jineng, tempat menyimpan hasil panen. Jineng itu tak lagi digunakan, karena hasil panen sudah dijual langsung di sawah.

Krining membersihkan dipan, menutup kasur kusam dengan seprai yang masih kuat menyisakan bau peluh percintaan mereka. Ia mengunci diri, bersimpuh di lantai, bersamadi menenangkan dada yang berdebar-debar, menguatkan jiwa yang gundah dan getir. Selepas tengah hari ia mendengar gelak tawa genit dan meriah ketika upacara pernikahan berlangsung. Guyonan-guyonan jorok oleh mereka yang menyaksikan perkawinan itu, di antara suara genta, menampar-nampar telinganya. Matanya hangat, sekuat perasaan ia mencoba tidak menangis.

Ia tetap di kamar ketika malam tiba, berusaha sekuat tenaga agar tidak diganggu oleh bayangan gairah pasangan calon pendeta itu menikmati malam pertama. Waktu terasa beranjak malas dan sangat lamban. Dinding-dinding kamar mengepung dan mengimpit, atap bagai hendak ambruk menimpa, membenamkan tubuhnya dalam-dalam ke lantai. ”Kuatkan jiwa hamba, Hyang Widhi,” dia berdoa lirih tanpa henti. Tubuhnya lemas, perasaannya lunglai.

Ketika hendak merebahkan diri di ranjang, ia mendengar suara gaduh beruntun dari arah timur, disertai jerit perempuan berulang-ulang disela isak tangis. Sudah larut malam, saat Krining mendengar langkah terseret-seret menghampiri jineng.

Pintu diketuk berulang-ulang, suara lelaki memanggil-manggil. ”Buka, Ning, buka!”

Krining terkesiap, di hadapannya Aji Punarbawa berdiri dengan napas tersengal-sengal. Di belakangnya seorang perempuan telanjang bersimpuh merunduk tersedu sedan.

”Aku tak sanggup melakukannya, Ning,” ujar Aji dengan tubuh gemetar. ”Terus-menerus aku teringat dirimu yang pasti dirundung sakit hati dan sunyi.”

”Saya meminta, karena Aji suami saya,” isak perempuan bersimpuh itu buru-buru menjelaskan, agar tidak disalahkan. Rambutnya tergerai menggerayangi pinggulnya yang mulus, padat dan kencang.

Krining tak mengerti, mengapa Aji menolak melakukan tugas mulia yang menggairahkan di malam pertama. Tubuh ranum perawan itu dengan sepasang kuntum payudara segar, yang terguncang-guncang menahan deras isak, pasti menantang berahi lelaki mana pun. Bagaimana bisa Aji Punarbawa tak tergoda hanya karena terganggu oleh bayangan derita istri?

Perlahan Krining menarik seprai, agar debu dari kasur kusam tidak beterbangan. Ia gamit pundak perempuan itu berdiri, dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang dengan seprai. Betapa lemas jemari perempuan itu terasa oleh Krining ketika menuntunnya kembali ke kamar pengantin, lima puluh langkah ke timur. Aji Punarbawa mengikuti seperti seekor anak kucing membuntuti induknya. Di depan pintu Krining melepas seprai dan meminta perempuan yang dibalut gairah itu memasangnya di ranjang. Aji bengong dan bingung melihat tingkah istrinya.

”Sekarang Aji pasti sanggup,” ujar Krining. ”Bayangkan malam pertama ketika Aji menggumuli saya. Hirup bau keringat kita di seprai, semua akan berlangsung seperti biasa.”

”Berarti aku memerkosa, karena melakukan tanpa cinta.”

”Tak apa, tebuslah empat puluh dua hari nanti, ketika Aji madiksa jadi pendeta,” ujar Krining seperti bercanda.

Aji Punarbawa membungkukkan badan, perlahan-lahan duduk bersila, mencakupkan kedua tangan di depan dada dengan takzim, kemudian memeluk betis Krining dan mencium lututnya.

”Tak pantas calon pendeta menyembah perempuan biasa, Aji.”

”Engkau wanita luar biasa, Ning.”

Seprai sudah terpasang, perempuan itu tergolek telanjang menunggu penuh harap berlumur berahi. Terbayang zaman gemilang yang akan dilaluinya sebagai penampung benih penerus generasi kependetaan Gria Rangkan.

Krining membimbing Aji berdiri, menuntunnya masuk kamar, lalu menutup pintu dari luar. Setenang dan setegar mungkin ia berusaha menempuh lima puluh langkah ke barat, kembali ke jineng. Dalam sunyi hening ia terkenang para leluhur, yang ia yakini selalu mengawasi perilakunya sehari-hari. Di depan pintu ia terpekur, berdoa semoga leluhur merestui tindakannya, dan tidak menghujatnya sebagai perempuan bodoh yang menistakan diri sendiri.

Sudah lewat tengah malam ketika Krining merebahkan diri di dipan dengan kasur kusam, tanpa seprai. Namun, ia merasa sangat nyaman, tetap sebagai perempuan biasa.

Denpasar, Mei 2009

Pos ini dipublikasikan di Cerpen Kompas dan tag , , , , , . Tandai permalink.