Perjumpaan Malam

H. Usman Hermawan, M.Pd.

Tiba di depan  gerbang pasar  Leuwiliang,  Sarkun menghentikan laju sepeda motornya. Hujan telah reda. Matahari tinggal biasnya. Angin sejuk menyemilir. Dilipatnya jas hujan yang masih basah. Pandangannya segera menyapu segala penjuru demi mendapati orang yang ditujunya, Imas.  Perempuan  itu baru dikenalnya lewat telepon atas rekomendasi Ki Dasuki. Imas pernah diurusi  Ki Dasuki untuk penyembuhan suatu penyakit  yang  disebut Ki Dasuki sebagai penyakit biasa. Tak ada foto Imas pada Ki Dasuki yang bisa dilihat Sarkun. Sarkun hanya mendapatkankan deskripsi lisan mengenai Imas. Sarkun ingin mengakhiri status jomblonya yang dikhawatirkannya kadaluarsa. Itu sebabnya dia meminta bantuan Ki Dasuki yang diketahuinya telah banyak membantu pasiennya untuk urusan jodoh.

Ada dua SMS masuk yang tak sempat dibukanya selama dalam perjalanan.

“Aku sudah sampai,” balas Sarkun.

“Oh, kukira tidak jadi. Sekarang terlampau sore, sebentar lagi magrib. Tunggu saja di masjid Al Waliyyin,” balas Isma sesaat kemudian.

“Sebelah mana?”

“Dua ratus meter ke timur dari gerbang pasar, di sisi kiri. Setelah magrib aku ke situ.”

Sarkun menghela nafas dalam-dalam. Kesabaran dan rasa penasarannya mulai teruji. Saat itu pula fantasinya gagal membayangkan sosok Imas yang sama sekali belum pernah dilihatnya.  Namun dari kelembutan suaranya ketika bicara di telepon Sarkun menyukainya. Sarkun berharap perempuan ini kelak ditakdirkan menjadi pengisi ceruk jiwanya yang kering dan sepi, nyaris tanpa cinta. Kecuali itu, Sarkun juga berharap ini perburuan terakhir  setelah kegagalan demi kegagalan dideritanya. Karena itu dia nyaris putus asa. Konon dirinya ‘digantung waris’setelah gagal menjalin hubungan dengan janda muda beranak tiga. Sarkun sempat kehilangan cita rasa terhadap perempuan lain. Kini Imas, perempuan yang elum terlihat wujudnya  itu berdaya magnet kuat. Semangat Sarkun terbarukan karenanya. Sarkun juga sadar benar bahwa cinta memang mesti diperjuangkan.

Masjid yang dimaksudkan Imas berhasil ditemukan Sarkun. Rasa tak sabar ingin segera bertemu Imas seperti ulah bayi dalam kandungan, menendang-nendang. Penantian dimulai. Detik demi detik berjalan lamban. Sarkun mulai jenuh. Beberapa saat kemudian magrib pun tiba. Sarkun shalat berjamaah. Namun pikirannya terus tertuju.  Kekhusyukannya terganggu. Usai shalat Sarkun berdoa agar Allah Subhanahu wataala membaguskan hati dan paras perempuan yang hendak kutemui bakda magrib. “Cocokkanlah dia bagiku, cocokkan pula aku baginya. Berikanlah kesan manis dalam perjumpaan kami kali ini. Amin.” Sarkun menutup doanya.

Cahaya  lampu kendaran dari jalan raya terus mengelebat, berlontaran ke arahnya. Bisingnya mesin sepeda motor dengan gas dipermainkan sedikit menggangu konsentrasinya. Duduk di sepeda motornya di tepi selatan pelataran masjid dalam temaram cahaya lampu neon Sarkun gelisah. Pandangannya lebih sering tertuju ke sudut timur area parkir masjid yang diperkirakannya dari situlah Imas bakal muncul. Seperti bakal kedatangan makhluk aneh, Sarkun tak kuasa menahan degup jantungnya yang berubah kencang. Bayangan yang bukan-bukan, andai Imas ternyata buruk rupa, sesekali melintas dalam pikirannya. Namun dia tetap berharap, perempuan yang sebentar lagi akan dijumpainya dapat memenuhi harapannya, baik fisiknya maupun akhlaknya, seperti kata Ki Dasuki.

Sebuah SMS dari Imas masuk. “Ciri-cirinya bagaimana?”

Sesaat jantung Sarkun berdebar. “Selain agak ganteng, aku duduk di motor,” balas Sarkun mencoba gurau. Di situ tak ada sepeda motor yang lain kecuali miliknya sehingga  memudahkan Imas untuk mengenalinya. Ketegangan berlangsung beberapa saat.

***

Di langit awan menggantung. Hujan masih mungkin akan turun malam itu. Seorang perempuan berjilbab putih muncul persis dari arah yang Sarkun kira. Jantung Sarkun berdetak lebih cepat. Usia perempuan itu jauh melebihi usia Imas yang diketahuiya. Sarkun diam, menahan nafas, berharap perempuan itu bukan Imas. Perempuan itu mendekat ke arahnya. Sarkun pura-pura tak melihatnya, bahkan sengaja mengarahkan pandangan ke kendaraan yang berseliweran jalan raya.

Punten, maaf, ini teh Kang Sarkun?”

Sarkun terkejut bukan main. “Betul, Anda siapa?”

“Tuh, ada yang cari.” Perempuan itu dengan tenang mengamati tampang Sarkun.”Is, betul!” teriaknya kemudian.

Yang diberi tahu  segera menampakkan jati dirinya seraya menuju ke arah Sarkun.  Perempuan itu berjilbab putih dengan baju terusan bermotif  bunga-bunga.  Sarkun menatap tajam  wajah perempuan yang dinantikannya itu. Pada jarak satu meter perempuan itu berhenti. Bibir Sarkun tak dapat berkata untuk memulai menyapanya.

“Kang Sarkun yah?”

“Betul. Imas?”

“Iyah. Lama yah, maaf .”

Sarkun mengangguk dengan senyum mencair. Kejenuhannya mendadak hilang, berganti suka cita.

“Terima kasih, Bi,” ujar Imas.

Perempuan yang dipanggil bibi itu pergi.

“Sudah makan atau belum, makan dulu yuk!” ajak Imas akrab layaknya empunya rumah terhadap tamunya.

Sarkun tak menolak. Hatinya berbunga-bunga. Teriakan senangnya nyaris pecah. Namun dia berhasil menahannya. Keduanya memasuki rumah makan Padang di seberang jalan. Dengan luwes Imas memilihkan menu bagi Sarkun. Imas berlaku layaknya istri setia bagi Sarkun. Sarkun menurut saja karena pada dasarnya di situ tak ada menu yang tak disukainya. Keakraban terbangun begitu baiknya. Sarkun berhasil mengimbanginya. Sarkun tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Meskipun baru pertama bertemu mereka seperti telah saling kenal sejak lama.  Terpancar kegembiraan pada wajah keduanya. Sarkun tak henti mencuri pandang, mengamati setiap bagian yang tampak pada kenalannya itu. Bagi Sarkun, Imas lebih dari cukup bahkan amat istimewa.

“Rumahmu di mana?”

“Jauh dari sini, lima kilo. Di kampung Kracak.”

“Di sekitar sini tinggal dengan siapa?”

“Di pondok.”

“Pondok pesantren?  Nyantri?”

“Ngajar.”

“Ustadzah!”

Sarkun tak menyangka bahwa perempuan di hadapannya bukan orang biasa, ustadzah, di pesantren modern pula. Ustadzah itu orang yang dihormati di lingkungan pesantren.  Di mata Sarkun,  Imas adalah orang yang jauh lebih mengerti agama daripada dirinya. Tipe dan kriteria perempuan seperti itulah yang diidamkannya. Tak ada kesangsian bagi Sarkun untuk kelak memperistri Imas jika yang bersangkutan menerima cintanya. Sikap positif  Imas dimaknainya sebagai isyarat bahwa dia tak bertepuk sebelah tangan. Peluang untuk memasuki hatinya terbuka. Harapan ibunya untuk mempunyai menantu kaum santri bakal terwujud.  Sarkun terpesona. Angin mengirim tembang Pasundan memasuki relung hatinya.

Perbincangan berlangsung begitu lancarnya hingga makan usai. Hujan yang menderas turut menambah durasi perbincangan yang begitu akrab. Sarkun tak dapat menyembunyikan ketertarikannya. Pesona Imas begitu memikat hatinya. Imas adalah perempuan dewasa. Sikap simpatinya menjadikannya angun di mata Sarkun.

Setengah sepuluh, cukup malam. Imas harus segera kembali ke pondok meskipun tugas mengajar santri telah diwakilkannya kepada pengajar lain. Hujan menyisakan gerimis tipis. Imas membentangkan payung lalu diserahkannya kepada Sarkun. “Sepanjang jalan kenangan kita saling bergandeng tangan/ Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra….” Sarkun teringat syair lagu itu. Hidungnya kembang kempis. Dadanya bergetar.

“Aku antarkan kau sampai pondok yah!”
“Jangan. Aku naik ojek saja!”

“Kenapa?”

“Tak enak kalau dilihat orang yang kenal. Lagi pula di sekitar sini banyak keluarga pak kiyai. ”

“Anggap sajalah aku ini tukang ojek.”

Imas ragu, tetapi mencari tukang ojek bukan hal mudah dalam kondisi seperti itu, sedangkan jarak yang harus ditempuhnya tidak terbilang dekat jika ditempuh dengan berjalan kaki. Sarkun terus mendesak penuh simpati. Akhirnya  Imas bersedia menerima tawaran Sarkun. Sarkun merasa plong.

Perlahan dia putar gas. Perlahan pula sepeda motor melaju. Sarkun sangat berhati-hati, setiap gajlukan dilaluinya dengan penuh perasan.   Hati Sarkun berbunga-bunga. Kesan pertama begitu menggodanya. Sungguh, Sarkun terpesona.

Imas meminta turun di mulut gang pesantren. Percakapan keduanya seperti pertemuan sahabat lama, enggan berakhir. Namun setelah seorang lelaki yang dikenal Imas melintas dengan sepeda motor dan bertegur sapa, Imas segera mengakhiri perjumpaannya dengan Sarkun. Sarkun kembali pulang menempuh jarak puluhan kilometer. Sensasi perjumpaannya dengan Imas menyisakan getar-getar asmara di dadanya.

***

Beberapa SMS Sarkun tak mendapat balasan semestinya. Gayung seperti tak bersambut, sedangkan rasa rindu mengusiknya setiap waktu. Keadaan itu memaksa Sarkun untuk mendatangi pondok pesantren tempat Imas bekerja. Untuk memperlancar upayanya, Sarkun disertai sahabatnya, Sodikin menemui Kiyai Mudhofar, pemilik pondok pesantren itu. Tak mudah bagi Sarkun untuk bisa bertatap muka dengan kiyai karismatik itu. Selepas isya keduanya harus menanti sampai tamu sang kiyai  pulang.

“Begini Saudara Sarkun, saya tidak bisa ikut campur urusan pribadi seseorang, meskipun itu anak buah saya, bahkan bisa dibilang Imas itu anak saya-lah,” ujar Kiyai Mudhofar.

“Maksud kami, kawan saya ini minta bantuan Bapak untuk memediasi niat baiknya bertemu Imas. Dia sedang mencari calon istri. Barangkali saja cocok,” sela Sodikin.

Sejenak Kiyai Mudhofar tertegun. “Imas itu memang sudah saatnya untuk berumah tangga, entah sudah punya calon pendamping atau belum.”

Sarkun tak banyak bicara, lebih banyak mewakilkannya  kepada Sodikin.

“Barangkali saja ada jodoh, Pak Kiyai,” ulang Sodikin.

Kiyai Mudhofar menyalakan rokok. “Baiklah sebentar saya panggilkan. Silakan minum!”

Sarkun menyeruput kopi hitam yang disuguhkan seorang santri. Kiyai Mudhofar  meminta bantuan seorang santri putri untuk memanggilkan Imas, ustadzah Imas.

“Mau bicara langsung dengan Imas?” tanya Kiyai Mudhofar kepada Sarkun.

“Biar Pak Kiyai saja.” Sarkun merendahkan suara seraya berharap Imas bersedia menerima arahan Sang kiyai.

Seperempat jam kemudian Imas datang ditemani kawannya.  Kiyai Mudhofar mempersilakannya duduk di kursi pada sayap kanan beranda, terpisah dari kelompok kursi yang diduduki Sarkun. Imas tak berani bersitatap dengan Sarkun, seperti tak saling kenal. Imas sadar benar bahwa ini lingkungan pesantren, begitulah selayaknya bersikap terhadap laki-laki bukan muhrim.

Kiyai Mudhofar mengajukan sejumlah pertanyaan terkait maksud kedatangan Sarkun. Sarkun mendengar percakapan mereka dengan suara timbul-tenggelam di tengah kegaduhan suara banyak santri. Percakapan mereka berlangsung hampir setengah jam. Selanjutnya, Imas pamit dengan penuh takzim terhadap gurunya.

“Begini Saudara Sarkun, dia tidak bisa menjawab sekarang, minta waktu dua pekan untuk istikharah. Saudara juga cobalah lakukan shalat istikharah. Kalau sama-sama dapat petunjuk, silakan lanjutkan. Nanti bisa akad nikah di sini. Saya mendukung.”

***

Empat belas hari bukan waktu yang singkat untuk sebuah penantian. Malam demi  malam  Sarkun melaksanakan shalat istikharah. Kendati hatinya merasa mantap memilih Imas, tapi petunjuk melalui mimpi yang mengarah kepada bahwa Allah mengijinkannya memilih Imas tak juga didapatinya. Berkali-kali mimpi dialaminya, tapi tak berkaitan dengan doa yang dipanjatkannya usai shalat istikharah. Dia yakin mimpi dikejar-kejar bencong pun tak ada sangkut pautnya.

“Bagaimana kabarnya?” Sarkun mencoba mengirim SMS.

“Aku belum mendapat petunjuk,” balas Imas.

“Tapi hatiku makin mantap.”

“Entahlah, aku belum bisa memutuskan.”

Teringat pertemuan pertama yang mengesankan, Sarkun kian penasaran.  Hingga malam keempat belas berlalu Sarkun tak mendapati petunjuk lewat mimpinya. Malam keenam belas, tanpa memberi tahu Imas, Sarkun kembali bertandang ke rumah Kiyai Mudhofar untuk memperoleh jawaban Imas. Imas dipanggil untuk menghadap Kiyai Mudhofar. Kembali Kiyai Mudhofar memediasi dengan menanyakan langsung mengenai kesediaan Imas untuk menerima Sarkun sebagai calon suami.

“Bagaimana hasil istikharahmu?” tanya  Kiyai Mudhofar

Imas terdiam sesaat. “Maaf  Abi, tidak ada petunjuk apa-apa.”

“Sekarang bagaimana menurut keyakinanmu? Saudara Sarkun itu berniat baik, ingin memperistri kamu. Segeralah pastikan, kalau mau bilang mau, kalau tidak ya katakan. Jangan digantung begitu orang!” Bicara Kiyai Mudhofar meninggi.

“Bagaimana kalau saya minta waktu tiga hari.”

“Maksudmu?”

“Saya akan meminta bantuan kawan untuk membantu istikharah. Setelah tiga hari saya sendiri yang kabarkan keputusannya. Kang Sarkun tak usah repot-repot datang ke sini.”

Kiyai Mudhofar terdiam sesaat. “Baiklah kalau begitu.”

Imas diperkenankan kembali  ke asramanya. Imas merasa tak enak hati terhadap Kiyai Mudhofar  karena telah merepotkannya untuk urusan yang menurutnya remeh-temeh.

Kiyai Mudhofari  menyampaikan isi pembicaraannya dengan Imas kepada Sarkun. Sarkun meneguhkan hati, berusaha membangun kesabaran.

***  

Tiga hari juga bukan waktu yang singkat untuk sebuah penantian.  Hari ketiga, Kamis malam, bakda Isya, Sarkun harap-harap cemas menanti hapenya berdering. Dia sungguh berharap Imas bersedia menerima cintanya.  Mendekati waktu yang dijanjikan Imas, jantung Sarkun berdebar-debar. Nadinya berdenyut lebih keras dan cepat. Sesaat kemudian telepon dari Imas masuk. Suara Imas terdengar lembut dan santun. Sarkun tak bisa sabar, ingin segera mendengar langsung pernyataan perempuan yang diminatinya.  Sarkun tak banyak kata-kata kecuali merespon setiap perkataan Imas.

“Tak ada petunjuk apapun yang mengisyaratkan bahwa Allah mengijinkan perjodohan kita. Aku minta maaf. Kita berteman saja.”

“Bisakah kita ketemu?”

“Jangan sekarang. Aku sedang banyak pekerjaan.”

“Mas kita harus bertemu, sekarang.”

“Jangan memaksakan kehendak. Lain waktu kita bisa bertemu. Assalamualaikum.”

Imas menutup teleponnya.

Sarkun mencoba meneleponnya, tetapi gagal. Nafas tersedak.   Rasa kecewa  merambati hatinya. Darahnya mendidih.

***

Imas tak bisa lagi dihubungi. Sarkun memendam rasa penasaran. Sepekan kemudian Sarkun  nekat datang ke pesantren tempat Imas mengajar. Sarkun kembali menemui Kiyai Mudhofar.

“Mohon ijin Pak Kiyai, saya ingin ketemu Imas?”

“Beberapa hari lalu Imas minta cuti. Perlu istirahat katanya.”

“Sakitkah?”

“Kelihatannya tidak. Mukanya hanya sedikit pucat, mungkin kelelahan.”

Sarkun terdiam beberapa saat. “Bisa saya minta alamatnya?”

Kiyai Mudhofar menyebutkan alamat Imas serta menunjukkan rutenya. Tanpa buang-buang waktu Sarkun segera pamit dan tancap gas. Sarkun ingin segera bertemu Imas, ingin mendapat jawaban langsung dan alasan jelas perihal penolakan Imas atas itikad baiknya. Pikir Sarkun, berbincang di kediaman Imas akan lebih leluasa daripada di pesantren Kiyai Mudhofar. Apapun hasilnya Sakun akan siap.

Bagi Sarkun yang belum pernah menjelajahi dusun Kracak, tak terlampau mudah mencari alamat Imas. Setelah bertanya kepada beberapa orang tibalah Sarkun di alamat yang dicarinya. Sarkun terjekut dan heran. Kedatangannya disambut suara tangisan. Memilukan. Beberapa orang, laki-laki dan perempuan berdatangan. Ya, kiranya Imas telah tiada. Jasadnya dibaringkan di ruang tengah, ditutupi kain bermotif  batik. Seseorang membacakan surat Yassin. Menyadari bahwa dihadapannya adalah jasad Imas, Sarkun tak dapat menahan kesedihan. Matanya leleh. Namun, teringat perjumpaannya suatu malam, Sarkun nyaris tak percaya menghadapi kenyataan itu.

“Sebab apa Imas menginggal dunia, Bu?” tanya Sarkun pelan.

“Kata dokter dia mengidap penyakit AIDS, sudah lama,” jawab perempuan tua penuh sesal, ”ketularan almarhum suaminya. Si Burhan memang keterlaluan. Karena tak kunjung sembuh Imas bunuh diri.” Tangisnya kembali pecah.

“Masyaallah,” desah Sarkun pedih. Sarkun memilih diam dan merenungi sikap Imas terhadapnya. Mendung menggantung di atas dusun Kracak siang itu seakan mengisyaratkan duka cita yang mendalam.(*)

Penulis adalah guru SMAN 15 Kota Tangerang,

berdomisili di Kampung Gurubug, Kabupaten Tangerang.Email:usmahermawan70@gmail.com

Pos ini dipublikasikan di Cerpen Horison dan tag , , , , , . Tandai permalink.