Bantiran

Gde Aryantha Soethama

Bertiga mereka menapak pematang di tengah sawah yang kering kerontang, berbulan-bulan dibiarkan terbengkalai oleh penggarap dan pemiliknya. Bantiran di depan, disusul Kartaman. Paling belakang seorang serdadu memanggul senapan laras panjang.

Dekat sebuah batu datar sebesar gerobak, Bantiran berhenti. Sinar bulan separo bundar membuat batu itu berkilat. Sebatang pohon kamboja tegak di sebelahnya, daun-daunnya gugur oleh kemarau, tapi bunga-bunga bermekaran. Ini sebuah tempat keramat bagi petani dan nelayan Desa Jampi. Tapi, mereka tak berniat mendirikan bangunan suci di situ, karena pasti akan merepotkan untuk membuat sesaji berulang kali di berbagai hari. Sudah ada banyak tempat suci di desa itu harus diurus dan menelan banyak biaya. Penolakan itu menyebabkan desa-desa tetangga menuduh mereka ateis. Mereka dituding sebagai manusia merah, orang-orang komunis, antek-antek PKI.

Bantiran menyusupkan tangan ke pinggang, mengeluarkan sebilah keris kecil, cuma sepanjang telapak tangan, menyodorkannya kepada Kartaman. ”Hanya kamu yang bisa mengakhiri, Man!”

Kartaman tak bergerak, seperti seonggok kayu usang. Dia menggeleng. ”Aku tak sanggup!”

Bantiran menghela napas. Serdadu itu semakin awas, siaga jika sesuatu tak diinginkan terjadi. Ia tak menduga kalau Bantiran menyelipkan sebilah keris. Bagaimana keris itu bisa lolos dalam pemeriksaan tadi di markas? Serdadu itu memegang erat senapannya, mengarahkan moncongnya ke dada Bantiran.

”Kamu sudah berjanji.”

”Aku dipaksa, tak kuasa menolak.”

”Bunuhlah aku, kalau kamu tak ingin diburu sebagai pengecut dan pengkhianat. Tuntaskan tugasmu, kamu pun menolong aku!”

Bantiran memegang tangan Kartaman, memindahkan gagang keris alit itu dari tangannya ke genggaman Kartaman. ”Kamu harus melakukannya dengan dua tangan, hanya dengan sedikit dorongan, semua akan selesai dengan tenang.”

Dengan tenang? Bagaimana mungkin Kartaman sanggup membunuh dengan tenang anak muda yang dikenalnya teduh dan hidup sebatang kara ini? Ibunya meninggal ketika ia dilahirkan, bapaknya tewas karena jatuh memanjat pohon kelapa. Ia kemudian hidup meneruskan usaha kakeknya, menjadi pandai besi, membuat cangkul, arit, palu, pisau, parang. Bantiran dekat dengan petani dan nelayan dari Desa Jampi yang sering memesan peralatan untuk bertani. Ketika petani-petani itu dituduh komunis, Bantiran pun dicap sebagai bagian penting dari orang-orang merah yang harus ditumpas.

Bantiran yakin ia akan diciduk dan dibunuh. Setiap malam ia seperti mendengar gemuruh derap orang berlari menyerbu rumahnya. Begitu kencang, demikian kuat, mengalahkan deru ombak pantai Jampi. Kadang ia membayangkan pintu rumahnya didobrak, lalu lehernya ditebas kelewang, yang lain menusukkan tombak ke dadanya berulang-ulang.

Kalaupun dibunuh, ia ingin mati dengan tenang. Tidak seperti Tutbendu yang kepalanya dikepruk dengan batu di perempatan desa sepulang dari sawah. Dia tak ingin senasib dengan Bli Sambrag yang dibunuh dengan dijerat, dan diseret-seret dekat bendungan sepulang melaut. Tidak juga seperti nasib Pak Kelincak yang tubuhnya dirajam dengan arit, kepala dihantam palu, lalu matanya dicungkil, telinganya diiris.

Sejak kecemasan dibunuh terus meruyak dan memburu, Bantiran mengungsi ke rumah pamannya, sepupu ayahnya. Orang-orang menganggap Bantiran menyerahkan diri, karena bagian depan rumah pamannya disulap jadi markas. Keluarga diungsikan ke belakang.

”Saya mohon perlindungan, Bapak,” pinta Bantiran kepada pamannya, salah seorang tokoh komando gerakan penumpasan. ”Saya ingin selamat, tetap hidup. Kalaupun harus mati, tolong agar saya dibunuh oleh seseorang, dengan tenang. Saya tak ingin seperti yang lain, dibunuh dengan hiruk-pikuk ramai-ramai.”

Berhari-hari Bantiran dicekam gelisah di markas itu. Ia tidak berstatus tahanan, karena ia keluarga seorang tokoh. Tapi, ia dilarang ke luar rumah. Bahkan, selalu saja orang-orang di markas itu curiga berat jika ia ke luar kamar. Teman bicaranya cuma Kartaman, sepupunya, yang acap menemani makan siang dan malam. Mereka kadang bermain catur, menyibukkan waktu. Namun, menit menjadi sangat menyebalkan, detik melangkah sangat lambat, hari seperti mati. Jika Kartaman seharian tak muncul, Bantiran merasa dirinya sudah binasa.

Bantiran menjadi tahanan istimewa di markas itu. Tapi, apa arti keistimewaan jika laskar penumpas orang-orang merah itu tetap ingin membunuhnya? Pamannya tak kuasa menyelamatkan. Sebulan setelah ia menyerahkan diri, markas memutuskan menghukum mati Bantiran. Dia diberi kebebasan memilih cara untuk mati, dipenggal atau ditembak.

”Ada satu permintaan lagi, Bapak,” ujarnya pelan ketika Paman menyampaikan berita hukuman mati itu. ”Izinkan saya mati di tangan Kartaman.”

Paman terhenyak, tubuhnya terdorong sejenak ke belakang.

”Saya ingin mati dengan tenang, Bapak. Perintahkan Kartaman membunuh saya.”

”Dia pasti menolak!”

”Dia tak akan berani menolak perintah Bapak. Saat ini Bapak tokoh paling berpengaruh dan berwibawa. Tak seorang pun, laskar, kader, kerabat, keponakan, anak, berani menentang Bapak.”

Berhari-hari Kartaman tidak muncul di markas ketika ia tahu diberi tugas menghabisi Bantiran. Tapi tak muncul sama sekali juga tidak mungkin. Ia bisa jadi tertuduh merusak jalan gerak penumpasan, dan diburu, karena eksekusi Bantiran bakal tertunda-tunda. Paman akan marah karena dicurigai mengulur-ulur waktu. Ia mempertaruhkan wibawa, dan harus berketetapan hati melaksanakan keputusan markas.

Kartaman akhirnya datang ke markas. Ia menuju kamar Bantiran di bagian sudut tenggara pekarangan.

”Tolonglah! Aku ingin dibunuh dengan tenang. Dalam keadaan begini, aku akan mati dengan puas jika kamu yang melakukan.”

Bantiran mengeluarkan keris luk tiga sepanjang telapak tangan dari bawah bantal, yang selama ini untuk berjaga-jaga, kalau-kalau ada orang hendak membunuhnya. Ia menarik gagang, melepaskan benda tajam itu dari sarungnya. ”Ini buatan kakek. Ia bilang, sebagai keluarga tukang tempa besi, harus punya benda pusaka. Ia ingin pusaka ini diwariskan turun-temurun. Aku ingin mati oleh keris ini, Man!”

Kartaman terpaku, gemetar. Dia muda, hidup jauh dari kekerasan. Meninju orang hanya sekali ia lakukan, ketika berkelahi dengan temannya di sekolah dasar karena pensilnya dirampas. Mana sanggup ia membunuh orang?

”Aku hanya butuh tusukan pelan, semua akan selesai dengan tenang. Racun keris ini pekat, sanggup membunuh dalam hitungan menit. Ini keris sepadan karya seorang empu.”

Kartaman menggeleng. ”Aku akan menghadap Paman, bilang aku tak mampu.”

”Markas sudah memutuskan, ini tugasmu. Tolonglah aku! Dalam keadaan begini, alangkah tenteram jika dibunuh oleh sanak saudara. Aku tak mau tewas di tangan orang tak kukenal. Tidak oleh orang-orang yang membenciku.”

Kartaman masih yakin bisa mengelak dari tanggung jawab itu. Tapi, ia menggigil ketika Paman memutuskan tugas itu harus dipikulnya. Jika tidak, laskar dan kader-kader partai akan mencurigainya. Orang yang menolak membunuh, harus dicermati, dan menjadi target untuk dibunuh. ”Kita masih punya akal. Kamu pura-pura membunuh, biar Bantiran tenang. Serahkan tugas itu pada serdadu. Ia yang akan mengeksekusi.”

”Bantiran tak mau ditembak, Bapak. Ia ingin dibunuh dengan keris.”

”Kamu bisa berpura-pura membuat keributan kecil, menjauhlah dari Bantiran. Saat itu serdadu akan menembaknya.”

Kini Kartaman sedang memikirkan, keributan kecil apa yang sebaiknya ia lakukan. Ia harus menyampaikan siasat ini kepada serdadu itu. Salah sedikit, bisa-bisa ia yang diterjang peluru.

Bantiran berseri-seri ketika Kartaman bersedia jadi algojo. ”Kamu itu penyelamatku, Man.”

”Penyelamat?”

”Menyelamatkan aku dari mati dengan sengsara.”

Malam itu Bantiran minta disediakan makan malam hanya sepiring tape singkong. Katanya, ”Alkohol tape membuat bau darah menjadi gurih, tidak amis.” Ia makan lahap sekali. Dan yakin Kartaman akan menikamnya lewat tengah malam nanti. Serdadu yang menyertai mereka ia anggap cuma untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia melawan dan melarikan diri.

Tapi sekarang, setelah tiba di tempat yang ia pilih untuk eksekusi, Bantiran sejenak bimbang. Dari pantulan cahaya bulan ia menyimak keraguan penuh Kartaman dari gerak bola matanya. Ia menatap wajah Kartaman pucat pasi, lengan gemetar, ketika keris itu berpindah tangan.

”Tikam aku! Ayo!”

Kartaman menggerakkan tubuh ke belakang, melompat menjauh. Bantiran menggoyang-goyangkan tubuhnya. ”Tikam aku! Bunuh!” teriaknya melengking pilu. Kartaman terpaku. Serdadu itu memberondong Bantiran dengan tiga tembakan di dada. Bantiran terpelanting ke bawah pohon kamboja. Ia mencoba tegak lagi. Serdadu itu kembali memberondongnya. Bantiran terhuyung. Anjing-anjing terkejut oleh bunyi letusan itu, menyalak dari gubuk-gubuk di batas desa, menjeritkan kebencian dan kemarahan.

Tak ada darah mengalir dari tubuh Bantiran. Serdadu itu membelalakkan mata, karena baru saat itu ia berhadapan dengan orang kebal tembakan. Selama ini, cerita orang-orang kebal pelor ia anggap sebagai dongeng picisan. Peluru-peluru itu cuma merobek baju, menggores kulit, sebelum menggurat daging. Serdadu melepas dua tembakan ke arah kepala, meleset, peluru itu menghunjam di batang kamboja. Serdadu memberondong lagi, mengenai bahu Bantiran. Tubuhnya bergoyang-goyang.

Serdadu itu kini ragu. Ia mulai bimbang bisa menyelesaikan tugas. Ia memandang Kartaman, hendak mengajaknya berbincang mencari jalan ke luar untuk menuntaskan korban. Bantiran terhuyung-huyung mendekati Kartaman yang gemetar.

”Bedil tak akan sanggup mencabut nyawaku, Man. Kakek bilang, seorang pandai besi sejati cuma bisa dibunuh oleh pusakanya sendiri. Hanya kamu yang bisa menolongku, Man!”

Suara itu kini pelan sekali, memelas, penuh harap. Napas Bantiran terengah-engah, seperti habis berlari jauh. ”Hanya keris itu yang bisa membebaskan jiwaku. Tolonglah!”

Kartaman merinding. Tak ada lagi pilihan untuk membebaskan sepupunya dari derita. Keris di tangan kanannya bergetar dan memanas. Ia bergerak selangkah ke depan. Bantiran menyambut gerakan itu dengan lega. Detik yang ia tunggu sebentar lagi tiba.

”Ayo, jangan bimbang, Man!”

Kartaman mengayunkan tangan, menusukkan keris tiga luk itu ke lambung. Keris itu tak sanggup melukai. Bantiran tersenyum. ”Kubilang apa, Man, kau harus melakukannya dengan dua tangan. Genggam lembut gagangnya dengan sepuluh jarimu.”

Kartaman mengikuti permintaan itu.

”Ujungnya di dadaku.”

Kartaman merasakan gagang keris semakin panas, ketika ujungnya menyentuh ulu hati Bantiran.

”Tekan perlahan, setulus perasaan. Ayo…..!”

Kartaman mendorong gagang keris itu, ujungnya menancap selembut menusuk batang pisang, menembus dada, masuk perlahan, seperti ujung telunjuk yang dibenamkan ke pasir. Bantiran memejamkan mata, menikmati penyelesaian itu dengan tenang dan indah. Tubuhnya tersandar di pohon kamboja yang berderak-derak. Serdadu itu membatalkan niatnya melepas tembakan, ketika tubuh Kartaman menyatu dengan Bantiran.

Keris itu dingin perlahan, Kartaman menyentaknya dengan halus. Bantiran terkulai, rebah telentang di atas batu. Sarungnya basah oleh darah yang menebarkan aroma gurih. Serdadu bingung mencari-cari, dari mana datangnya bau nyaman seperti rempah-rempah digaring itu.

Sekeliling sepi, tak terdengar suara serangga malam. Lolong anjing senyap. Ke mana perginya kunang-kunang yang tadi riuh berkelip-kelip di semak-semak? Serdadu itu duduk di pematang yang basah oleh embun sambil menyulut rokok, menatap langit. Ia tak mengerti apa sesungguhnya barusan terjadi.

Dua puluh tahun kemudian Desa Jampi ramai oleh keluarga orang-orang yang dibantai. Mereka mencari tulang belulang untuk diaben. Sesaji diletakkan di tengah sawah yang sebulan lalu panen kedelai. Berpeluh mereka giat menggali gundukan-gundukan selebar parit memanjang yang mereka curigai sebagai kuburan massal. Jika tulang-tulang ditemukan, tentu mereka tak bisa mengenali lagi itu milik siapa. Mereka tak peduli. Menyelenggarakan upacara ngaben, membakar tulang-tulang itu, lebih penting, agar roh tidak gentayangan, atma bisa diajak pulang, disemayamkan di rumah.

Kartaman juga hadir di situ. Tentu dengan mudah ia mengenali kubur Bantiran, dekat batu sebesar gerobak. Pohon kamboja itu, yang batangnya masih menyimpan peluru ditembakkan meleset, kian tinggi dan rindang, sehingga batu dan kubur itu tambah teduh. Bersama serdadu, dini hari dua puluh tahun lalu, Kartaman mengubur Bantiran. Menjelang pagi baru usai. Setelah menimbun kubur, serdadu memberi penghormatan militer, karena baru kali itu ia mengenal orang sakti kebal pelor.

Sejak kubur Bantiran dibongkar, tulang belulangnya dibakar, petani dan nelayan tak pernah lagi mencium aroma gurih rempah-rempah digaring jika mereka lewat dekat batu keramat itu. Mereka juga tak lagi mendengar suara aneh berdentang-dentang, seperti orang sibuk menempa besi membuat arit atau parang.

Denpasar, November 2008

Pos ini dipublikasikan di Cerpen Kompas dan tag , , , , . Tandai permalink.