Tikus dan Manusia

Entah bagaimana caranya tikus itu memasuki rumah kami tetap sebuah misteri. Tikus berpikir secara tikus dan manusia berpikir secara manusia, hanya manusia-tikus yang mampu membongkar misteri ini. Semua lubang di seluruh rumah kami tutup rapat (sepanjang yang kami temukan), namun tikus itu tetap masuk rumah. Rumah kami dikelilingi kebun kosong yang luas milik tetangga. Kami menduga tikus itu adalah tikus kebun. Tubuhnya cukup besar dan bulunya hitam legam.

Pertama kali kami menyadari kehadiran penghuni rumah yang tak diundang, dan tak kami ingini itu, ketika saya tengah menonton film-video The End of the Affair yang dibintangi Ralph Fiennes dan Julianne Moore, seorang diri, sementara istri telah mendengkur kecapaian di kamar. Waktu tiba pada adegan panas pasangan selingkuh Fiennes dan Julianne, tengah bugil di ranjang, yang membuat saya menahan napas dan pupil mata melebar, tiba-tiba kaki saya diterjang benda dingin yang meluncur ke arah televisi, dan saya lihat tikus hitam besar itu berlari kencang bersembunyi di balik rak buku. Jantung saya nyaris copot, darah naik ke kepala akibat terkejut, dan otomatis kedua kaki saya angkat ke atas.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , , | Komentar Dinonaktifkan pada Tikus dan Manusia

Langit Malam

Iyut Fitra

Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke dalam malam. Berjalan di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke ruang-ruang lengang melenakan.

Kuingat kata-kata Ibu sore tadi. Di beranda tempat kami bisa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, sore kali ini menjadi lain. Setelah aku bercerita panjang, akhirnya Ibu berkata keras kepadaku seolah- olah saja ia sedang disengat kalajengking.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , , , | Komentar Dinonaktifkan pada Langit Malam

Rumah untuk Kemenakan

Iyut Fitra

Di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.

Sebulan yang lalu, setelah percintaannya yang panjang dengan Darti, perempuan berambut lebat yang bekerja sebagai pelayan toko dengan gaji yang teramat minim, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Tak ada yang dapat mereka janjikan, sebagaimana mereka tidak bisa membuat komitmen apa-apa selain hidup yang sederhana.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , , , | Komentar Dinonaktifkan pada Rumah untuk Kemenakan

Jendela Tua

Iyut Fitra

Selalu. Pada akhirnya kita akan pulang pada kesendirian. Setelah suami meninggal. Setelah anak-anak memilih rantau sebagai tujuan kehidupan. Dan rumah gadang hanya tinggal sebagai simbol kekokohan yang sebenarnya teramat rapuh dan sunyi. Di sanalah bermukimnya para ibu tua. Dengan kebaya lusuh. Dengan selendang usang. Menyulam waktu yang tak terukur. Menjahit rentang tak terkira. Lengang. Dan sendiri. Tapi hidup, tentu akan terus berjalan.

Sebuah jam lama di tonggak rumah gadang menunjukkan pukul delapan malam. Ibu tua itu baru saja selesai berdoa setelah sholat isya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan menuju almanak yang tergantung di dinding. Setelah mengamati angka demi angka dalam almanak tersebut, perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dengan bingkai yang lumayan besar di sisi dinding yang lain.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , , , | Komentar Dinonaktifkan pada Jendela Tua

Meniti Sepi, Menanti yang Pergi

Isbedy Stiawan ZS

Kau tidak juga tersenyum, padahal sudah berulang kubikin lelucon di hadapanmu. Ada apa sebenarnya denganmu? Berbagai cerita bernuansa humoris yang kuingat telah kukisahkan semenarik mungkin. Tapi, kau tetap tak tertawa. Apa yang telah terjadi padamu?

Malam telah berganti beberapa kali. Siang berulang melepas mantel benderangnya: kembali ke pekat. Tinggal kita di rumah ini. Sepi terasa. Waktu seperti merangkak pergi dan singgah. Sesungguhnya, apa yang kau pikirkan? Tentang anak-anak yang meninggalkan rumah ini dan menetap di kota lain? Kawin dan beranak? Hanya surat-suratnya yang kemudian menjumpai kita, katanya, melepas kangen?

Kita sekarang dipanggil Opa dan Oma. Sungguh, panggilan yang dulu amat kita khawatirkan jika datang amat cepat. Dan, ternyata dugaanku benar. Anak perempuan kita yang kedua dipinang, menikah, setelah itu dibawa ke lain kota. Kau menangis waktu itu, tatkala Selvi melambai di depan gerbang. Menaiki mobil yang sekejap kemudian berpacu. Kau sedih. Aku maklum, kau amat terpukul. Tetapi, hukum hidup harus begitu.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , , , , , , | Komentar Dinonaktifkan pada Meniti Sepi, Menanti yang Pergi

Terompet

Isbedy Stiawan ZS

Tidak seperti biasa, Sisi yang meneleponku. Ia memintaku-tentu amat mengharap-agar menemaninya jalan di malam Tahun Baru. Bukan semata karena ia kalau segera kusanggupi, tapi disebabkan Nina. Aku ingin menghiburnya, aku sudah amat rindu berjalan dengannya.

“Nina menyuruhku meneleponmu. Ia mengharap sekali kau mau menemani kami. Yang terpenting ia ingin kau ada di sisinya saat ia merayakan ulang tahun…,” ujar Sisi. Nina lahir pada 31 Desember pukul 19.00 dan kini di usia ke-13 ia minta dirayakan bersamaku. “Katanya, ia telah mengundang teman-teman sekolah.”

Aku pikir apa salahnya membahagiakan putriku yang tengah masuki usia remaja? Selama ini, sejak aku berpisah dengan Sisi, aku cuma mengucapkan ulang tahun melalui telepon. Atau menyuruh office boy mengantarkan kue ulang tahun buat Nina. Dan, sesekali membawanya ke pantai atau tempat bermain di mal.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , , , | Komentar Dinonaktifkan pada Terompet

Hanya untuk Satu Nama

Isbedy Stiawan ZS

Hanya untuk satu nama: Demi.

Kalimat itu terukir rapi di atas foto Mas Zen berlatar belakang bunga tulip yang tengah mekar. Tentunya foto itu diabadikan saat musim bunga sedang berlangsung di Belanda. Aku menerima kiriman itu dari Mas Zen tiga tahun lalu. Saat Zen kuliah di negeri Kincir Angin itu.

Di bawah kalimat itu tertulis dengan tipografi puisi: “Rademi Pratiwi,/bila musim salju tiba seperti sekarang ini,/aku makin rindu padamu./Ingin mendekapmu/sepanjang tidurku/di balik selimut tebal.//Atau dalam mantel tebal menembus salju/sepanjang jalan di Amsterdam ini/kita saling melingkarkan tangan/di pinggang.//Kau tahu,/aku selalu bayangkan/kau ada di dekatku,/dalam dekapanku…”

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , , , | Komentar Dinonaktifkan pada Hanya untuk Satu Nama

Bulan Terbingkai Jendela

Indra Tranggono

Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisir rambutnya yang memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan yang jauh, angin itu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini. Itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi ia toh nekat. Ia percaya, sehelai syal yang melilit di lehernya mampu melindunginya dari terpaan angin malam. Kemesraan yang menyakiti? Ah, tidak juga. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat angin, toh aman-aman saja. Kalau sedikit batuk, itu tak lebih dari ongkos yang harus ia bayar buat mengagumi ketegaran dan kesetiaan angin yang tetap saja bertiup, entah sampai kapan. Hanya air yang selalu mengalir, pikirnya, yang mampu menandingi kesetiaan angin. Juga ombak, yang tak pernah jera memukul-mukul pantai dan karang. Betapa melelahkan. Tapi, cinta tak pernah mengenal lelah dan sia-sia, pikirnya.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , , | Komentar Dinonaktifkan pada Bulan Terbingkai Jendela

Pemintal Kegelapan

Intan Paramaditha

Semasa kecilku Ibu selalu berkisah tentang hantu perempuan yang menghuni loteng rumah kami. Dulu aku ketakutan setengah mati sehingga kusembunyikan kepalaku di balik bantal bila malam tiba. Meski begitu, tidak ada yang lebih menggelitik fantasiku selain cerita misteri.

Aku selalu menganggap diriku detektif cilik dengan rasa ingin tahu berlebih. Malam hari yang kerap diwarnai bunyi-bunyian gaduh dari arah loteng mengundang jiwa penyelidikku. Sebenarnya bunyi itu hanyalah tikus yang berlari-larian, namun masa kecil membuka ruang imajinasi tak berujung. Aku berkhayal di sana ada harta karun tersembunyi dalam peti. Untuk membukanya kita harus terlebih dahulu melawan penjaganya, yakni seekor laba-laba raksasa yang membungkus tubuh korbannya dengan jaring sebelum menyantapnya. Ruangan itu begitu gelap, namun begitu menyalakan lilin kau akan melihat mayat-mayat manusia tergantung kaku.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , , | Komentar Dinonaktifkan pada Pemintal Kegelapan

Liang

Indra Tranggono

Tangis Wasti pecah, pagi itu. Kantong air matanya jebol ditohok kalimat-kalimat runcing mengilat para tetangganya. Liang matanya terasa perih, sangat perih. Air matanya terlalu banyak mengalir, hampir sepanjang waktu, seperti aliran selokan yang membelah kampung itu.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen Kompas | Tag , | Komentar Dinonaktifkan pada Liang