Segenggam Harapan Untuk Meraih Masa Depan

JUMAT, 18 JULI 2014 06:09 SITI MARFUAH

Saat ini, aku menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anakku.  Aku harus tegar. Aku harus kuat  dalam menghadapi romantika kehidupan di alam mayapada ini untuk menuju ke alam hakiki, alam keabadian manusia yaitu akhirat. Tidak lain hanya untuk selalu beramal shaleh, menjalankan kewajiban melakukan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya

***
Sebut saja namaku Nurul. Aku menikah setelah lulus Madrasah Aliyah. Aku diperistri oleh Mas Mahmud, tetangga kecamatan yang juga lulusan Madrasah Aliyah. Aku adalah bungsu dari 6 bersaudara yang terlahir dari keluarga yang kurang berada. Ibuku meninggal  saat aku masih di kelas 1 MA. Demikian pula suamiku, ia adalah bungsu dari 3 bersaudara yang ditinggal wafat oleh ayahnya saat ia masih kecil.

Sejak kami menikah kami hidup bersama dalam 1 rumah dengan kakak ipar dan ibu mertua. Meski tinggal serumah, kami masak sendiri-sendiri. Penghasilan suamiku hanya cukup untuk makan sehari-hari, bahkan kami sering terpaksa berhutang di warung tetangga. Sebagai penjaga kantor, gajinya yang hanya empat ratus ribu rupiah itu pun seringkali harus dipotong untuk membayar listrik dan bensin.  Sementara, kakak iparku mempunyai toko kelontong, tapi tidak begitu ramai. Sehingga untuk makan sehari-hari masih bergantung pada ibu mertuaku. Kami bersyukur, meskipun dalam kondisi serba terbatas kami masih bisa masak sendiri  tanpa bergantung pada pihak lain.

Namun, hidup bersama satu rumah dengan keluarga besar, tentu tidak mudah. Ada saja persoalan yang seringkali membuat sakit hati. Soal mertua yang pilih kasih, kakak ipar yang sering memusuhi, adalah cobaan yang sering kami hadapi.

Meski hati ini sakit, ingin berontak, tapi kami berdua tidak bisa berbuat apa-apa. Karena suamiku tipe orang yang mengalah. Aku pun demikian. Namun, saat aku bersedih, ia  senantiasa menghiburku. Kami  berdua hanya bisa saling curhat, ketika Mas Mahmud pulang dari kerja.

“Ya sudah… besok kalau aku gajian kita jalan-jalan ya, beli makanan kesukaanmu…!” hibur mas Mahmud sambil mendekapku erat, saat aku bercerita soal perlakuan mertua yang  hanya membelikan jajan pasar untuk kakak iparku dan membuatku hanya bisa gigit jari .
“Ya Mas, makasih…” jawabku terharu.

***
Sebenarnya, kakak iparku sudah disuruh untuk membuat rumah di tanah belakang rumah dan pindah ke sana. Karena, rumah yang kutempati itu sudah bagian Mas Mahmud. Mas Mahmud-lah yang membangun rumah tersebut. Tapi, kakak iparku tidak mau.  Dari awal aku datang memang sudah kelihatan tanda-tanda keserakahannya. Tapi hal itu sengaja aku biarkan. Biarlah semua masalahkuhadapi dan segalanya kuserahkan kepada Allah. Rejeki nasib, dan ajal hanya Allah-lah yang tahu.

Memasuki usia pernikahanku  yang ke dua kami dikaruniai seorang putri. Dialah penghiburku, setelah Mas Mahmud. Kami namakan ia Nadia.
“Oe…oe…oe…” terdengar anakku menangis.
“Ada apa, sayang? O… pipis, ya? Anak shalihah, kalau pipis tidak pakai nangis, sayang…” kuganti popoknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Lalu kudekap anakku dan kutidurkan. Kulanjutkan lagi pekerjaanku yang tertunda, menyapu dan mencuci baju. Dia lucu sekali.  Namun, tanpa dinyana, kehadiran Nadia membuat kami harus terusir dari rumah ini. Rumah ini sudah menjadi milikku, sejak dia tinggal di rumah ini. Kalian saja yang pindah! Tanah di belakang itu bau kotoran sapi? Mana mau aku menempatinya!” seru kakak iparku.

Hantaman kata-kata sindiran seperti itulah, selalu kurasakan setiap hari. Lama-lama kami berdua tidak betah kumpul bersama kakak ipar. Akhirnya, kami juga yang mengalah. Kami relakan rumah bagian Mas Mahmud untuk kakaknya.

Kami pun membangun rumah di tanah belakang. Rumah ini memang dekat kandang sapi dan kuburan. Meskipun begitu, kami sangat bersyukur. Tak apalah, kalau kami harus meninggalkan rumah itu. Semoga di tanah ini, kami dapatkan ketenangan. Amin. Sedikit demi sedikit kami mengumpulkan uang. Dan, alhamdulilah Allah memberi limpahan rejeki pada kami. Suamiku diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dan SK kepegawaiannya dijadikan jaminan untuk mengambil kredit untuk  pembangunan rumah selama 5 tahun. Meski tersendat-sendat, alhamdulillah rumahku jadi dan bisa kutempati. Ibu mertuaku lebih memilih ikut suamiku  yang suka mengalah daripada ikut kakak iparku.

Namun rupanya cobaan tidak berhenti sampai di sini. Melihat rumah kami lebih bagus dibandingkan milik mereka, kedua kakak iparku masih mengincar rumah milik kami. Lagi-lagi kupasrahkan semuanya kepada Sang Pemilik Kehidupan. Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya.

“Ya Allah… Ya Rahman… Ya Rahim… kuatkan hatiku dalam menghadapi ujian-Mu.” Begitulah doa yang selalu kupanjatkan ketika selesai shalat.
Memasuki usia pernikahanku yang ke empat kami dikaruniai Allah momongan lagi. Seorang ksatria tampan. Wajahnya persis seperti ayahnya. Kunamakan dia Iqbal. Namun saat Iqbal berusia 1 tahun, cobaan kembali datang. Ia memiliki benjolan di lehernya yang menurut diagnosa dokter adalah penyakit kanker ganas. Sakitnya Iqbal menjadi pukulan besar bagi Mas Mahmud.  Namun, aku senantiasa menghiburnya.

“Jangan sedih, Mas! Masih banyak orang di bawah kita, yang nasibnya lebih parah. Kita harus selalu bersyukur atas nikmat-Nya, cobaan, ujian, ataupun kebahagiaan, itu hanya bumbu manisnya kehidupan. Di atas kita, ada Allah yang selalu memperhatikan hamba-Nya. Namun, merekalah yang kurang menyadari, bahwa Allah memberikan kita nasib yang lebih baik daripada asumsi mereka.”

Walaupun begitu, Mas Mahmud sepertinya tidak bisa melepaskan diri dari beban pikirannya. Ia sakit parah dan semakin hari semakin parah. Bila menghadapi tekanan pikiran, seringkali ia mengeluarkan cairan darah baik dari hidung maupun mulutnya. Berbagai cara baik ikhtiar melalui jalur medis maupun alternative seperti pengobatan herbal semuanya kami coba. Namun, belum juga nampak hasilnya.

Sebelum Mas Mahmud sakit, Nadia putri pertama kami telah memasuki bangku sekolah. Ia kami kirim ke pondok pesantren Huffazhul Quran. Saat mendengar ayahnya sakit,  Nadia pulang dan tak mau lagi kembali ke pondok karena ingin menunggui ayahnya. Kubujuk dia agar ia kembali ke pondok, untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi putri kebanggaan ayahnya.

***
Kini Mas Mahmud telah tiada. Ia telah tenang di sisi Allah swt. Setelah Mas Mahmud pergi, masalah tidak berhenti sampai di situ. Iparku yang dulu selalu mengincar hartaku, kini semakin menjadi. Aku kadang tidak berani di rumah sendirian, karena iparku juga mengincarku mau diperkosa. Ibu mertuaku cuek seakan tak mau tahu. Namun semua kuserahkan kepada Allah. Aku berlindung kepada-Nya. Aku selalu husnudhan kepada siapa saja.

Kini aku sendirian, tanpa Mas Mahmud disisiku. Aku harus bangkit. Aku harus bekerja untuk menghidupi anak-anakku. Jangan sampai aku terpuruk akan keadaan. Aku harus terus menyekolahkan anakku setinggi-tingginya. Merekalah harapanku satu-satunya. Semoga harapanku menjadi kenyataan mempunyai anak yang shalih dan shalihah. segenggam harapan untuk memperoleh masa depan yang cerah. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin.

Hubunganku dengan kakak-kakak ipar dan mertua terus kuperbaiki dengan baik. Lambat laun membuahkan hasil. Mereka sudah jarang menggodaku, tapi aku tetap waspada. Namun aku selalu yakin, bahwa Allah tidak pernah menguji hamba-Nya di luar kesanggupannya. Di samping itu, akan selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Mungkin, Dia telah menuliskan skenario dalam hidupku untuk menjadi perempuan yang perkasa karena setiap ujian-Nya. {}

Sumber: http://www.rahima.or.id/

Pos ini dipublikasikan di Cerpen Swara Rahima dan tag , , , , , , , , , . Tandai permalink.