Layon

Chairil Gibran Ramadhan

1 

Mayit itu sudah diletakkan di ruang tengah, di atas dipan[1]. Begitu cerita orang-orang yang lewat di jalan depan rumahku. Aku tidak tahu bagaimana persisnya. Namun orang yang baru meninggal di kampung kami, diletakkan di atas dipan, tentulah sebagaimana umumnya: dialasi tikar, ditutupi dua-tiga lapis kain batik panjang, dipakaikan bantal di kepalanya, ditutupi kain putih tembus pandang wajahnya, ada setumpuk Al-Qur’an di dekat kepalanya untuk dibaca pelayat khususnya Yaasiin[2], ada piring kaleng berisi air mengalas empat kaki dipan untuk menghalau semut, ada baskom di teras berisi sedikit beras ditutupi kain untuk orang-orang yang ngelawad[3] meletakkan uang, ada orang menangis, ada orang mengerubungi orang yang menangis, ada orang saling bercerita tentang si mayit di masa hidupnya, ada yang membicarakan masalahnya sendiri-sendiri lantaran lama tak bertemu, ada anak-keluarga yang kasak-kusuk membicarakan warisan….

            Sejak Ashar kuhitung sudah tiga orang bergantian datang ke rumahku. Anak lelaki si mayit, isteri mayit, dan adik lelaki si mayit. Permintaan mereka sama: memintaku datang melayat dan mema’afkan si mayit (aku tak bersedia menyebut namanya bukan hanya hari ini, namun sudah 15 tahun—ketika hidupnya aku biasa menyebut “itu manusia”[4]). Mereka didampingi tiga-empat orang penduduk. Tapi aku tetap tidak berkenan datang, dan tetap tidak mema’afkan si mayit. “Biar nanti si mayit sendiri yang meminta ma’af kepada saya, diPadang Mahsyar[5].”

            Ketiga orang itu sama menangis, bahkan anak dan adik si mayit hampir memukulku kalau saja tiga-empat orang yang mengantar tak memegangi. Aku membentak, “Kenapa memaksa?! Keluar dari rumah saya!” Telunjuk tangan kiriku menuding.

            Para penekan itu meninggalkan teras dengan malu dan kesal. Aku tidak peduli. Tiga-empat orang yang mengantar, di pintu besi sebatas dada tanpa selot kemudian berbalik, memintaku untuk melayat dan mema’afkan si mayit. Aku hanya tersenyum. Mereka malah memintaku menjadi seperti Tuhan yang Maha Pengampun atau nabi yang pema’af. Tidak lupa menasehatiku dengan bermacam ayat dan hadis. Kuminta mereka berpikir seperti aku. Sebab mudah bicara bila tidak sebagai aku. Mudah seperti meludah.

            Aku bukan Tuhan. Bukan pula nabi.

            “Katakan kepada saya, ayat dan hadis tentang orang yang menyengsarakan orang lain.”

            Mereka tampak kesal. Namun tidak melakukan apa-apa. Baguslah. Mereka menjaga peci putih dan sorbannya tetap bersih. Tidak pula membuat sebutan yang mereka peroleh dari negeri sangat jauh—dengan mengeluarkan uang begitu banyak—menjadi berlumur lumpur.

            “Ya, kami memahami sakit hatimu, Rizal. Namun bijaksanalah. Ia manusia juga seperti kita. Pasti punya kesalahan. Lagipula manusia pastilah berbeda-beda. Ia sudah meninggal. Apa lagi yang menjadi masalah? Segala urusan sebaiknya diselesaikan sesegeranya. Besok Dzuhur ia dikuburkan. Anak-isteri dan keluarganya juga sudah meminta ma’af kepadamu. Mereka hanya meminta kau melayat dan mema’afkan almarhum. Jangan membuat mereka menderita, terlebih almarhum di dalam kuburnya. Selama 13 tahun dia sudah menderita sebagai kembang bale[6]. Almarhum bapakmu pasti bangga punya anak pema’af.”

“Hanya?”

Mereka diam.

            “Mengapa si mayit tidak meminta ma’af ketika hidupnya? Kenapa isteri, anak, dan keluarganya tak menyuruh si mayit meminta ma’af ketika masih hidup?”

            Mereka menghela nafas.

            “Biarlah nanti si mayit sendiri yang meminta ma’af kepada saya, di PadangMahsyar. Saya bukan Tuhan. Bukan pula nabi. Terima saya. Manusia pasti berbeda-beda.”

            Mereka pun meninggalkan rumahku, kembali ke rumah si mayit.

2 

Isteriku datang dari melayat. Ia bercerita, orang-orang membicarakanku. Mereka menyebutku sebagai orang yang keras hati. Bahkan ada yang berencana memukulku bila bertemu. Betapa lucunya! Apa urusan mereka denganku? Kenapa mereka begitu repot? Aku tak punya urusan dengan mereka. Aku hanya punya urusan dengan si mayit (aku tak bersedia menyebut namanya bukan hanya hari ini, namun sudah 15 tahun—ketika hidupnya aku biasa menyebut “itu manusia”). Tepatnya, si mayit yang mempunyai urusan denganku. Harusnya mereka mengalami seperti bapakku mengalami. Ingin kulihat apakah mereka bisa tenang melihat manusia seperti itu sepanjang hidupnya.

            Keras hati? Ya! Memang! Aku memang keras hati. Tapi hanya pada si mayit. Apa mereka bersedia menjadi demikian dan menderita selama 15 tahun, lalu dengan mudahnya mema’afkan? Kupikir pasti tidak! Bicara memang semudah meludah!

            “Nanti kalau Pak RT dan Pak RW datang… bagaimana, Bang?” Isteriku membuka kerudung, menuju kamar mandi, membasuh muka, mencuci kaki dan tangan, sebagai kebiasaan orang di kampung kami.

            “Datang untuk apa?”

            “Meminta Abang melayat dan mema’afkan almarhum.”

            “Akan kukatakan seperti yang kukatakan kepada orang-orang lain yang sudah datang.”

            “Abang tidak takut?”

            “Lantaran apa?”

“Disebut sebagai warga yang melawan Ketua RT dan Ketua RW.”

“Fifi, bahkan bila lurah atau camat yang datang, aku tetap akan mengatakan hal yang sama.” Aku mengambil mug kaleng besar berisi kopi, meneguknya. Sudah dingin. “Kau tahu arti kata membela danmelawan?”

“Aku hanya mengulangi kata-kata orang, Bang.”

“Orang-orang yang melayat?”

“Ya….”

“Mereka sudah tidak waras. Itu lebih dari sekedar bodoh! Sekarang memang banyak orang tidak waras. Lihatlah televisi. Buruh dan rakyat bicara disebut melawan, dipukuli, bahkan dimatikan, lantaran majikan dan penguasa merasa dilawan. Dunia sudah penuh orang gila.”

“Begitulah, Bang.”

“Bila orang gila-orang gila itu menjadi buruh atau rakyat, bisakah mereka diam dan tidak menagih apapun? Sebab bukankah majikan dan penguasa itu juga manusia, dan manusia pastilah berbeda-beda? Bicara memang semudah meludah.”

Isteriku diam.

“Sejak dulu aku sering bertemu orang gila. Membela lantaran telah dizalimi, disebut melawan. Ini gila! Kalau begitu larang semua orang yang dizalimi perampok. Suruh memaklumi dan kembali bekerja untuk mengumpulkan harta. Larang bicara kepada wartawan, larang mengadu kepada polisi, larang bercerita kepada siapapun. Sebab bukankah perampok itu juga manusia dan manusia pastilah berbeda-beda?”

“Iya, Abang….”

3

Hampir tengah malam, benar seperti perkataan isteriku. Ketua RT dan Ketua RW datang. Dari melayat di rumah si mayit katanya (aku tak bersedia menyebut namanya bukan hanya hari ini, namun sudah 15 tahun—ketika hidupnya aku biasa menyebut “itu manusia”). Mereka mengucapkan salam dengan lengkap, maka kubalas pula dengan lengkap, begitu yang diajarkan orangtuaku sejak kecil, lantaran salam tak lengkap—“lam likum”, “likum” atau “kum”—tak perlu dijawab sebab bukan termasuk salam. Aku meletakkan Berita Buana[7] dan menerima mereka dengan baik. Isteriku masih menonton televisi—menampilkan tanah lapang penuh peserta kampanye mengenakan kaos hijau bertuliskan “Hidup P3”, kaos kuning bertuliskan “Hidup Golkar”, dan kaos merah bertuliskan “Hidup PDI”, disusul suara Pak Harto sedang bicara tentang Pemilu[8]—dan segera menuju dapur begitu mendengar aku menjawab salam. Aku menyuruh masuk, namun mereka mengatakan cukup di teras. Tidak lama, dan di luar lebih sejuk katanya.

            “Duduk, Ji.” Aku biasa memanggil keduanya dengan “ji”, lantaran kutahu telah haji. Mereka teman kecil Wak[9] Saidi dan Mang[10]Chaer.

            Mereka mengambil duduk, isteriku datang membawa baki dengan dua gelas bertutup berisi teh manis panas.

            “Begini….” Ketua RW mulai bicara. Dan seperti yang sudah kuduga, kata-katanya serupa yang kudengar sore tadi dari orang-orang yang datang. Aku pun kembali mengatakan hal yang sama, seperti kemauanku.

            “Kami mengerti kenapa kau memilih demikian. Kami tahu kejadiannya. Kau masih kecil waktu itu, namun pasti akan semakin mengerti ketika besar. Memang menyakitkan apa yang dahulu terjadi itu. Tapi….” Ketua RW tidak melanjutkan kata-katanya. Ia sepertinya bingung harus melanjutkan kalimatnya. Sangat bingung. Ia menunduk, menarik nafas, kemudian memandang Ketua RT yang terlihat sudah mengantuk. Hanya mendapat anggukan dan anggukan sebagai jawaban, ia mengajak pamit dan meminta diri. Kuminta mereka menghabiskan minum. Mubazir jika dibuang. Mereka menurut dan mengucapkan salam dengan lengkap. Kubalas pula dengan lengkap.

            “Pahamilah saya, dan syukurlah saya dipahami.”

            Ketua RT dan Ketua RW memakai sandal Lily dan Bata mereka, menuju Vespa warna telor asin di halaman. Aku mengantarkan hingga pintu besi setinggi dada tanpa selot.

“Ya, almarhum memang keterlaluan.” Ketua RW menghidupkan mesin Vespa.

            Ketua RT mengangguk. “Iya….”

            Itulah kalimat yang tepat sebagai tanggapan untuk kejadian yang kami alami 15 tahun lalu. Kejadian yang menyengsarakan aku dan kelima adikku, tentu saja bapak dan ibu!

4

Aku tidak melihat pemakaman si mayit (aku tak bersedia menyebut namanya bukan hanya hari ini, namun sudah 15 tahun—ketika hidupnya aku biasa menyebut “itu manusia”). Tidak pula melihat kurung batang[11] yang melewati rumahku menuju pekuburan di pinggir kampung, di sebelah kulon[12], dan orang-orang kembali ke rumah si mayit[13]. Senin ini aku bekerja. Dari jauh orang-orang berpeci dan bersarung menenteng berekat[14]berjalan ke arahku, lantaran untuk menuju rumah si mayit dan pulang dari sana harus melewati jalan di depan rumahku sebagai jalan satu-satunya menuju jalan-jalan yang lain. Aku membuka pintu besi setinggi dada tanpa selot. Mendorong motor bebek keluaran 1987. Aku duduk di teras, membuka sepatu. Kulihat Seiko di tangan kiriku, jarum pendek di angka sembilan dan jarum panjang di angka tiga,

            Orang-orang lewat. Beberapa menengok ke rumahku, lainnya tetap bicara-bicara. Seorang berpisah, mendorong pintu besi setinggi dada tanpa selot. Hamdan, teman kecilku. Ia mengucapkan salam dengan lengkap dan kujawab pula dengan lengkap. Ia tak berbasa-basi “Baru pulang?”, dan aku tak pula berbasa-basi “Pulang tahlilan[15]?”

            “Ramai?”

“Lumayan.” Hamdan duduk di kursi besi beralas busa. “Kalau di televisi bola main jam tujuh, tahlilan pasti hanya didatangi aki-aki[16].”

Aku tersenyum.

“Tadi bagus juga kata-kata Ustadz Yahya.”

“Apa katanya?”

“Ia tak menyebut namamu. Tapi orang-orang tahu siapa yang dimaksud.”

“Apa yang bagus? Apa ia menyerangku? Itu jelas tidak bagus, ‘kan?”

“Ia memaklumimu.”

“Apa katanya?”

“Memberi ma’af itu lebih baik daripada tidak memberi ma’af. Namun bila kesalahan seseorang dianggap sudah melampaui batas dan orang yang dirugikan tidak berkenan mema’afkan, itu adalah haknya dan tak bisa dipaksa untuk mema’afkan. Sebab bila semua ma’af diberikan, maka orang tidak akan lagi memilikirem untuk mengendalikan kata-kata dan tindakannya yang bisa menyakiti hati orang lain dan membuat sengsara. Nanti orang akan berpikir, ketika meninggal pasti akan dima’afkan lantaran keluarganya meminta ma’af dan orang yang dimintai ma’af pasti mema’afkan.”

“Lantas apa kata anak, isteri dan adik si mayit?”

“Mereka tidak ada.”

“Kenapa begitu?”

“Ustadz Yahya mengatakannya sambil berjalan pulang.”

Aku memasukkan kaos kaki ke sepatu.

            “Selama tujuh malam ini akan ada tahlilan di sana. Lalu pada malam ke-14, ke-40, dan ke-100. Begitu tadi pihak keluarga mengingatkan kami untuk kembali datang.”[17]

            “Ya.”         

5

Setiap kali melewati perumahan yang telah menjadi kota itu aku selalu menahan airmata. Dahulu rumah dan kebun milik bapak ada di sana, sebagai warisan yang diterimanya dari Kong[18]Mathar. Kampung yang penuh pohon karet. Aku teringat ibu yang waktu itu baru berumur 27 tahun menjerit-jerit dan menangis melihat bapak dipukuli, diseret, dan dimaki-maki, lalu diancam dengan golok panjang, dan akhirnya dibawa ke Kodim[19]. Bapak baru berumur 40 tahun dan pandai maen pukulan[20]. Tapi siapa pula yang berani melawan polisi dan tentara? Di sana, menurut cerita bapak, lantaran aku baru berumur 12 tahun maka tidak boleh ikut, polisi dan tentara juga memukulinya, sambil meletakkan sebutir peluru dan sedikit uang di meja.

“Pilih!” hardik lelaki yang menyeret bapak dari teras rumah hingga ke dalam mobil polisi sambil menendang bapak, golok panjang tergenggam keras di tangan kanannya yang berumur 57 tahun dan siap diayunkan ke leher bapak. “Jangan ngelawan pemerentah! Tuh kampung digusur buat dibikin jalanan! Mao mampus guah bacok luh?! Teken nih surat! Kalo kagak guah tebas batang leher luh!”[21]

Bapak yang lunglai pun mengambil sedikit uang itu, dan tanahnya kini menjadi kota. Rumah papan kami dihancurkan, lebih dari cara merusak kandang ayam. Bapak pindah ke seberang dekat Kali Pesanggrahan, kampung keluarga ibu, kampung Pondok Pinang, menumpang pada rumah yang menjadi warisan untuk ibu sebagai anak bontot[22]. Bapak tetap menjadi tukang kayu: membuat lemari, kursi sekolah, papan tulis, cermin oval, meja karambol, kuda-kudaan….

            Malam ini kuharap, pada malam pertamanya di dalam kubur, golok panjang itu akan mencacah tubuh si empunya, itu layon[23] busuk milik jawara, satu-satunya yang kemudian tersisa di kampung kami. Aku tak bersedia menyebut namanya bukan hanya hari ini, namun sudah 15 tahun—ketika hidupnya aku biasa menyebut “itu manusia”.

            Ya!***

 

Catatan

[1] Ranjang dari bahan papan dan balok ringan yang hanya cukup untuk satu orang.

[2] Surat ke-36 Al Qur’an, terdiri dari 83 ayat. Diantaranya berisi tentang ajal dan hari kiamat. Biasa dibaca saat seseorang sakaratul maut, melayat, tahlilan, ziarah kubur dan malam Jum’at.

[3] Melayat (Betawi).

[4] Ungkapan kasar untuk menyebut “dia” (Betawi).

[5] Padang sangat luas yang pada hari kiamat menjadi tempat berkumpulnya manusia sejak Nabi Adam hingga manusia terakhir, setelah dibangkitkan dari kematian.

[6] Penghias tempat tidur. Istilah untuk orang yang sakit parah dalam jangka waktu bulanan atau tahunan dan hanya berada di tempat tidur (Betawi).

[7] Nama surat kabar lama. Kini sudah tidak ada.

[8] Pemilu tahun 1992 masih diikuti tiga partai politik. Pemerintah Orde Baru menyebutnya “satu golkar dan dua partai politik”.

[9] Uwak, sebutan untuk kakak lelaki dan perempuan dari orangtua, digunakan kalangan Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir (Betawi Ora). Berbeda dengan kalangan sub-dialek Betawi Tengah (Betawi Kota) yang menggunakan “encang”.

[10] Mamang, sebutan untuk adik lelaki dari orangtua, digunakan pada kalangan Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir (Betawi Ora). Untuk perempuan digunakan “ence”. Berbeda dengan kalangan sub-dialek Betawi Tengah (Betawi Kota) yang hanya menggunakan “encing”.

[11] Keranda (Betawi).

[12] Barat (Betawi).

[13] Untuk makan bersama sepulang memakamkan sebagai tradisi turun-temurun, dikuti mereka yang telah membantu memakamkan dan para tetangga yang membantu di rumah duka—dengan lauk-pauk khas seperti sayur asem, sambal terasi, ikan gabus asin goreng, tahu-tempe goreng, jengkol goreng, lalap mentimun atau daun pepaya dan daun singkong rebus.

[14] Makanan kenduri, terdiri dari nasi, semur daging kerbau, kentang bumbu pedas, acar kuning, tumis buncis, emping, serondeng, dan gulati (tetelan campur kelapa sangrai). Sejak awal 1990-an menggunakan wadah plastik atau kardus. Namun hingga akhir 1980-an masih menggunakan besek (dari anyaman bambu), dan pada dekade-dekade sebelumnya menggunakan daun pisang, daun waru, daun jati, atau anyaman daun kelapa.

[15] Berisi pembacaan Yaasiin dan do’a-do’a untuk orang yang baru meninggal serta sanak-saudara yang telah lebih dahulu pergi. Tahlilan pada malam pertama hari kematian ini disebut nyusul tanah (Betawi).

[16] Kakek-kakek (Betawi).

[17] Masyarakat Betawi yang kurang mampu biasanya akan mengadakan tahlilan hanya pada malam pertama, ketiga, ketujuh, ke-14, ke-40, dan ke-100.

[18] Engkong, diadaptasi etnis Betawi dari penyebutan dalam kekerabatan kalangan Melayu Tionghoa.

[19] Komandan Distrik Militer.

[20] Ilmu beladiri (Betawi).

[21] Bahasa Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir (Betawi Ora) yang menggunakan akhiran “a” atau “ah”. Berbeda dengan sub-dialek Betawi Tengah (Betawi Kota) yang menggunakan akhiran “e” meski tidak pada semua kata. “Teken” maksudnya “tandatangani”, dari “ondertekenen” (Belanda).

[22] Bungsu (Betawi).

[23] Mayat (Melayu Tionghoa).

 

CHAIRIL GIBRAN RAMADHAN

Lahir dan besar di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Cerpennya tampil di berbagai media nasional, antologi tunggal Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Woman, and Violence (Gramedia, 2012), serta antologi bersama The Lontar Foundation untuk pasar internasional: Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, 2003) dan I Am Woman  (ed. John H. McGlynn, 2011). Buku yang memuat cerpennya dalam nuansa Betawi: Sebelas Colen di Malam Lebaran (Masup Jakarta, 2008, antologi tunggal), serta antologi bersamaUjung Laut Pulau Marwah (TSI 3, Tanjungpinang, 2010), Si Murai dan Orang Gila (DKJ & KPG, 2010), Ibu Kota Keberaksaraan(The 2nd Jilfest, 2011), Antologi Sastra Nusantara (MPU 7, Yogyakarta, 2012), dan Di Seberang Perbatasan: Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2012 (2012). Pernah diminta khusus menulis esai untuk antologi bersama, membuatnya berpidato di hadapan dubes Libanon, Libya, Tunisia, Belgia, dan Amerika. Selain menulis dan menyunting, ia juga juri sastra dan pembicara pada ajang budaya dan sastra, radio, televisi, FIB-UI, serta mewakili DKI Jakarta pada berbagai ajang sastra, dan diundang guru besar Universitas Riau, Prof. Dr. Yusmar Yusuf, untuk membaca puisi Betawi pada Pancur Lagoon Poetry Reading (Batam, 2012) dan Helat Budaya Melayu (Kampar, 2012). Kini redaktur Jurnal Sastra (Bandung), pemimpin redaksi Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies, penggiat Forum Sastra Betawi, dan pendiri Betawi Center Foundation. Sedang menyiapkan kumpulan cerpen keduanya dalam nuansa Betawi: Djali-Djali Bintang Kedjora (Penerbit Padasan, 2013).

 

Sumber: http://horisononline.or.id

Pos ini dipublikasikan di Cerpen Horison dan tag , , , , . Tandai permalink.