Teguh Winarsho AS
“CERITAKANLAH kepadaku satu kejadian yang menakjubkan,” pinta Erina pada seorang juru cerita. Sesaat sang juru cerita menatap bola mata Erina yang binar-binar menyala, lalu mulai menuturkan kisahnya: MALAM itu hujan turun deras. Di atas loteng rumah berpapan kayu, tampak dua anak kecil meringkuk dalam selimut kusam, kumal. Dua tubuh bocah itu terlihat kurus dan dekil, sesekali mengigil, gemetar, menahan dingin dan lapar. Sudah sehari semalam mereka terjebak tak bisa keluar rumah lantaran banjir yang tiba-tiba datang mengepung rumah mereka. Beruntung mereka segera naik ke loteng atas yang biasa digunakan sebagai gudang. Tak terpikirkan oleh dua bocah itu, buku-buku sekolah, seragam, sepatu, tas, yang pastilah sudah hancur atau hanyut terbawa arus.
Genangan air hampir menyentuh papan loteng, ketika dua bocah itu, Ani dan Agus, terlelap dalam kantuk berat. Guntur sesekali menggelegar disusul hujan deras seperti kemarahan yang lama terpendam dan kemudian teremas. Air di dalam rumah kembali berbuncah, meriak, mengombak, merangkak, menjilat-jilat papan loteng. Sesekali terdengar suara papan loteng berkeriut, seperti regang mau patah. Tapi dingin dan lapar telah membuat tidur dua bocah itu kian lelap.
Sedikit pun tak terusik oleh gemuruh hujan, papan loteng yang berkeriut, maupun kecipak air yang mulai menyentuh papan loteng. Tapi tengah malam tiba-tiba Ani terbangun. Ia merintih memegangi perutnya yang berkerucuk lapar. Melilit-lilit seperti ada puluhan cacing yang menggigit. Di sebelahnya Agus masih tidur pulas, mendengkur lirih. Terdengar ganjil suara dengkur Agus di tingkah guntur dan halilintar. “Aku lapar. Apakah Bapak sudah pulang…..” Susah payah Ani membuka mulutnya yang gigil dan pucat. Matanya berkedip-kedip seperti berusaha menembus gelap malam. Tapi malam terlampau gelap membuat gadis kecil itu terus menggosok-gosok mata mencari cahaya. Jelas tak ada jawaban dari mulut Agus, lantaran bocah laki-laki usia dua belas tahun itu tidurnya sangat nyenyak, tanpa gerak. Tak tega membangunkan kakaknya, Ani kembali merapatkan selimut. Meringkuk. Membenamkan wajah di lipatan bantal. Ingin tidur. Tapi tiba-tiba beberapa ekor nyamuk berdenging-denging di telinganya, berputar-putar, sesekali menukik di wajah. Ani merasa terganggu, mencoba menepuk nyamuk-nyamuk nakal itu, tapi selalu gagal. Agus tersentak kaget mendengar bunyi tepukkan Ani. Sesaat wajah Ani merasa bersalah.
Agus segera bangun, menggeliat, menggosok-gosok mata. Dalam gelap, samar-samar Agus masih bisa melihat Ani, adik perempuan satu-satunya, duduk di dekatnya. Agus menyibak selimut ikut duduk di sebelah Ani. Rambutnya kusut acak-acakkan. Matanya sayu seperti mata kupu-kupu. “Sudah malam. Kenapa kamu belum tidur?” Suara Agus terdengar lirih ditelan gemuruh hujan. Di luar, sesekali kilat menyambar. Ani tak menjawab. Kedua tangannya masih sibuk menepuk-nepuk nyamuk. Ia seperti gemas dengan nyamuk-nyamuk nakal itu.